We Were There (Manga Review)

fikra dilla
3 min readMay 23, 2018

Hal yang kusuka tentang cara kerja otakku adalah, aku bisa melupakan hal yang kusuka.

Aku bisa membaca novel/komik kedua kalinya dengan perasaan yang sama seperti kamu membaca untuk yang pertama kalinya. Emosi campur aduk yang ada kembali terulang melalui peristiwa yang sama. Hal ini kurasakan ketika aku membaca Hikaru’s No Go untuk kedua kalinya, di mana pada akhirnya tegang, terpikat, clueless terulang lagi, aku lupa bagaimana cerita ini berjalan yang jelas aku ingat ini hal yang bagus. Aku suka membaca ulang, seringnya bacaanku ringan dan picisan sampai rasanya selesai membaca ulang aku merasa baru saja waktu terbuang sia-sia.

Sejak kemarin aku membaca ulang shoujomanga yang terakhir kubaca tahun 2012. Ini ketiga kalinya aku membaca manga ini. Dan untuk ketiga kalinya aku tetap terpikat. Shoujo manga berjudul “We Were There” ini bila kita beri premis singkat cerita tentang Nana dan Yano dua murid sekolah akhir yang saling jatuh cinta lalu terpisah. Ah, sederhana sekali, premis tadi tidak bisa menjustifikasi keseluruhan cerita. Cerita ini punya efek luar biasa untukku. Aku juga tidak menyangka, dulu aku membaca ini ketika aku masih SMA dan sekarang menjelang tahun terakhir menjadi mahasiswa nyatanya aku masih terhisap. Cerita ini berjalan mulai dari Nana SMA sampai Nana kuliah dan akhirnya bekerja. Dulu aku memahami melalui sudut pandang anak SMA sekarang aku membaca ulang melalui sudut pandang mahasiswa, aku merasa lebih dekat dengan Nana. Untuk cara yang aneh manga ini merupakan salah satu motivasi terbesarku ingin berkarir di dunia penulisan kreatif. Ada yang istimewa dan berharga soal karya dari Obata Yuki ini. Aku tidak bisa bilang aku suka manga ini karena visualnya, manga ini yang membuatku mengerti kalu cerita yang berkualitas menjadi kunci sebuah karya. Hal pertama yang kamu rasakan ketika membaca buku satu adalah, kenapa beliau bisa membuat cerita ini?

We Were There membuatku loncat masuk ke dalam cerita. Jujur aku bahkan menulis tulisan ini dengan mata berkaca-kaca untuk mengabadikan penghargaanku pada manga ini melalui tulisan.

Banyak pertanyaan muncul selama aku membaca, aku suka sesuatu yang membuatku bertanya. Apa kebalikan dari cinta? Sampai kapan sebuah janji harus kita pegang? Benarkah perempuan membutuhkan laki-laki yang ada saat dibutuhkan? Seperti apa bentuk penghargaan tertinggi pria untuk perempuan? Mengatakan aku cinta kamu dengan mudah apa lantas mengartikan cinta yang diucapkan tidak sedalam itu? Dari mana kita bisa mengambil keputusan bahwa hal yang kita lakukan adalah kesalahan?

Membaca We Were There membuatku tergelitik, geli. Hal ini membuatku berpikir soal apa rasanya. Perasaan ketika kamu tahu kamu ingin hidup selamanya dengan orang ini, apa rasanya?

Dari perasaan ini aku lompat ke masa sekolah akhir. Mengingat rasanya jadi remaja yang jatuh cinta. Rasanya melompat bahagia ketika kotak pesan muncul tidak terduga, impulsif. Perasaan saat memikirkkan matang-matang setiap pesan yang akan dikirim, sampai akhirnya perasaan yang ada menjadi mutual bersifat saling. Kamu tahu dia merasakan hal yang sama, dan di sana, titik ternyaman. Sambil membaca manga ini aku berputar seperti remaja lagi, ingin merasakan (ugh) jatuh cinta (lagi?).

Aku juga dibuat berlinang air mata, alasan yang dipakai soal perpisahan. Perpisahan selalu jadi persoalan paling sensitif. We Were There punya plot minimalis soal menjadi remaja melalui kekuatan dialog dan karakternya, masalah yang ada membuatku frustasi, karena soal sex dan suicide di usia belia membuat aku yang konservatif ini pusing. Dan justru kejujuran dari masalah ini yang membuat semuanya menjadi realistis, aku berubah dari frustasi menjadi simpati.

Aku berterima kasih pada pembuat cerita ini, aku harap beliau terus berkarya.

--

--

fikra dilla
fikra dilla

No responses yet